Membungkukkan badan sudah menjadi budaya Jepang di mana pun. Di tempat kerja, sekolah, rumah, dan lain sebagainya.
Membungkuk di Jepang (お 辞 儀, Ojigi ) adalah tindakan menundukkan kepala atau bagian atas batang tubuh, biasanya digunakan sebagai tanda salam, hormat, permintaan maaf atau terima kasih dalam situasi sosial atau keagamaan.[1]
Membungkuk atau Ojigi ada beberapa tingkatan
1. Eshaku
Ada pun gerakan membungkuk yang pertama bernama Eshaku. Biasanya, gerakan ini dilakukan saat memberi salam kepada sepantaran atau seumuran. Membungkuk yang sedalam 15 derajat untuk salam biasa. [2]
Karena salam jenis ini ditujukan untuk orang yang sederajat atau teman, maka membungkuk hanya sedikit yaitu 15 derajat.
2. Keirei
‘Keirei’ adalah jenis ojigi yang paling resmi dan biasa dijumpai. Dilakukan dengan cara berdiri lalu membungkuk 30 derajat. Umumnya digunakan untuk memberi salam pada orang lain seperti pelanggan, untuk menunjukkan rasa terima kasih atau saat berkenalan dengan orang baru.
3. Saikeirei
Jenis ojigi ini cukup jarang ditemukan. Ojigi ini dilakukan kepada manajer, mertua, atasan atau rekan bisnis yang penting, dan sebagainya sebagai wujud hormat serta permintaan maaf yang mendalam. Cara melakukannya dengan membungkukkan tubuh 45 derajat dengan kepala diturunkan, lalu tahan posisi ini selama kurang lebih 3 detik. [3]
Jadi semakin dihormati seseorang, maka mereka membungkuk lebih dalam.
Budaya Ojigi tak asing lagi di Indonesia. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait gerakan ojigi, khususnya untuk yang beragama Islam.
Gerakan ojigi terutama Saikeirei yang membungkuk sedalam 45 derajat hampir serupa dengan gerakan rukuk dalam sholat.
Dalam Islam kita dilarang sujud kepada selain Allah. Sama halnya dengan rukuk, sujud atau rukuk yang dilakukan untuk selain Allah menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam.
Tanpa kita sadari gerakan ojigi dipraktekkan di berbagai acara. Misalnya saat perpisahan sekolah, penyerahan ijazah, atau hadiah. Saat naik ke pentas panitia menyuruh masing-masing peserta membungkukkan badan ke arah penonton, sebagai salam atau memberi hormat.
Bagi tenaga kerja dan pelajar Indonesia di Jepang, kemungkinan besar diharuskan melakukan ojigi. Kalau tidak bisa dianggap tidak tahu adat atau tidak sopan.
Ada sebuah pelajaran berharga dari sejarah ulama yang hidup pada masa penjajah Belanda dan Jepang, Dr. Abdul Karim Amrullah. Kisahnya tertulis dalam buku berjudul Ayahku.
Sebelum membaca kisah ini, saya menganggap gerakan salam di Jepang cukup aman, karena tidak perlu berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Cukup dengan membungkukkan badan. Namun, ternyata budaya ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada tahun 1943 M, Jepang mengadakan pertemuan ulama-ulama seluruh tanah Jawa. Pertemuan diadakan di Bandung. Beliau diangkat menjadi penasihat tinggi dan didudukkan di tribune, bersam kakka-kakka Jepang yang bergantungan pedang samurai di pinggang mereka.
Saat penjajahan, Jepang selalu berupaya menanamkan budaya mereka di tanah air.
Maksud Jepang mengadakan rapat mengambil suara ulama bersama untuk menyatakan setia, serta kerja sama dengan pemerintah Jepang.
Sebelum dimulai, rapat dibuka dengan upacara, yaitu sei keirei menghadap ke istana Diraja Tenno Heika di Timur Laut.
Semua orang... Semua orang berdiri. Seorang melakukan komando, "Sei Keirei!" semua menekur rukuk menghadap ke istana. Hanya seorang tua yang kurus, tetapi mata beliau menyinarkan iman yang panas dan hati baja, hanya beliau itu saja yang duduk, tidak ikut berdiri, yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah. Meskipun di kiri kanan beliau Jepang berpedang panjang semua.
Semua mata memandang dengan kecemasan dan mengandung beberapa makna. Mata ulama-ulama yang insaf bahwa perbuatan mereka salah atau mata ulama-ulama yang merasa kecil jiwa dan lemah iman karena turut rukuk. Demikian juga mata-mata orang Jepang yang heran tercengang mengapa yang satu ini (Abdul Karim Amrullah) tidak turut berdiri?
Dengan serta merta tersiarlah kabar ini ke seluruh dusun dan kota di tanah Jawa. Dalam saat yang hanya setengah menit, beliau telah menyatakan pendirian Islam yang sebenarnya terhadap kerajaan musyrik (Jepang).
Sesungguhnya, beratlah dalam perasaan ulama-ulama menghadapi soal sei keirei ini. Tidak ada ulama yang sebenar ulama yang mau menerima sai keirei ini. Ketika Jepang mengadakan pertemuan ulama di Singapura, Syekh Taher Jalaluddin telah menyatakan kepada beberapa ulama suapaya soal sei keirei ini diperkatakan. Namun, tidak ada yang berani. [4]
Abdul Karim Amrullahlah dengan berani menyampaikan kepada Jepang lewat tulisannya. Menurutnya salam cara Jepang tidak terlarang dalam Islam. Hanya saja jangan sampai menyerupai gerakan rukuk dalam sholat.
" dalam kitab-kitab fiqih tentang bab "al-Riddah" ada tersebut bahwa rukuk itu sama hukumnya dengan sujud, tertentu (hanya boleh) kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Oleh karena itu, tidak boleh juga dilakukan rukuk itu membesarkan sesuatu yang lain dari Allah subhanahu wata'ala sebagaimana membesarkan Allah subhanahu wata'ala, atau menyembah makhluk, nyatalah yang demikian mengeluarkan orang itu dari agama Islam sama sekali. [5]
Referensi
1. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Bowing_in_Japan
2. https://travel.detik.com/travel-news/d-4098966/3-cara-orang-jepang-membungkuk-dan-perbedaan-maknanya
3. https://www.google.com/amp/s/livejapan.com/id/article-a0000709/amp/
4. Hamka, Ayahku, Gema Insani, Depok, Cetakan 1, 2019 hal: 257-259
5. Hamka, hal: 431-433